Aktual.co.id – Dalam beberapa pekan terakhir, isu mengenai “Pertamax Oplosan” telah menjadi perhatian utama publik. Berawal dari berita korupsi di PT Pertamina Patra Niaga yang menyeret petinggi perusahaan, narasi ini berkembang luas di media sosial. Masyarakat menerima informasi ini bahwa Pertamax yang mereka beli adalah hasil campuran dari Pertalite, sementara mereka telah membayar dengan harga yang lebih tinggi. Ketidakpercayaan publik semakin meningkat karena persepsi bahwa mereka telah ditipu oleh perusahaan milik negara yang seharusnya menjaga transparansi dan kredibilitasnya.
Dampak dari isu ini tidak hanya berhenti di media sosial. Gelombang kekecewaan berubah menjadi aksi nyata dengan meningkatnya jumlah konsumen yang beralih dari SPBU Pertamina ke SPBU swasta seperti Shell. Fenomena ini terlihat dari antrean panjang di berbagai SPBU non-Pertamina yang menjadi konten di berbagai media sosial. Perpindahan konsumsi ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat tidak hanya sekadar membicarakan isu ini, tetapi juga mengambil keputusan ekonomi berdasarkan kepercayaan.
Dalam era digital, netizen memiliki peran besar dalam membentuk, menyebarkan, dan mengarahkan opini publik terhadap suatu isu. Fenomena Mass-Self Communication-nya Manuel Castells. Berdasarkan analisis pola perilaku digital, perkembangan isu ini mengikuti tahapan digital activism, yang akhirnya membentuk gerakan perlawanan terhadap Pertamina.
Tahap pertama dimulai dengan profiling, di mana netizen mulai menggali informasi terkait dugaan korupsi dan praktik bisnis Pertamina. Mereka berbagi cerita, berita dan dokumen terkait serta mengaitkan isu ini dengan berbagai skandal sebelumnya. Ketika Pertamina memberikan klarifikasi bahwa Pertamax bukan hasil oplosan, tetapi merupakan produk yang melalui proses blending yang sah, publik tidak serta-merta menerima penjelasan tersebut. Ketidakpercayaan ini diperburuk oleh rekam jejak korupsi di sektor energi, membuat netizen lebih percaya pada narasi yang berkembang di media sosial ketimbang klarifikasi resmi dari Pertamina. Kontestasi diksi “oplosan” dan “blending”, hal yang wajar dalam digital activism.
Situasi ini kemudian berkembang ke tahap kedua, yaitu skeptisisme dan resistensi. Di media sosial, banyak netizen yang tidak hanya menyuarakan ketidakpuasan, tetapi juga menyerukan boikot terhadap SPBU Pertamina. Narasi seperti “Mending ke Shell aja” atau “Lebih baik bayar mahal tapi yakin kualitasnya” semakin muncul dalam perbincangan digital.
Pada tahap ketiga, yakni aksi kolektif, fenomena ini berubah menjadi gerakan nyata. Masyarakat mulai menghindari SPBU Pertamina, dan antrean panjang di SPBU swasta ini menjadi bukti konkret bahwa netizen tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak. Boikot ini berpotensi berkembang lebih jauh menjadi cancel culture, di mana masyarakat secara sistematis menolak produk Pertamina, bukan hanya karena dugaan oplosan, tetapi karena “ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap pengelolaan Perusahaan”.
Dalam menghadapi situasi ini, langkah yang perlu diambil bukan hanya sekadar mengontrol narasi di media sosial atau menggunakan influencer untuk membentuk opini publik. Justru ini adalah momentum terbaik bagi Pertamina untuk melakukan reformasi besar-besaran dan membangun kembali kepercayaan masyarakat melalui transparansi dan akuntabilitas yang nyata. Alih-alih hanya fokus pada klarifikasi teknis mengenai blending dan produksi BBM, Pertamina harus menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar serius dalam membersihkan diri dari praktik korupsi. Publik tidak hanya menuntut jawaban terkait isu Pertamax oplosan, tetapi juga ingin melihat adanya perubahan struktural yang menghilangkan potensi penyimpangan di masa depan.
Salah satu langkah paling krusial adalah transparansi dan akuntabilitas sebagai prioritas utama. Alih-alih hanya membantah tuduhan, Pertamina harus membuka akses informasi seluas mungkin terkait proses produksi BBM. Audit independen harus segera dilakukan dan dipublikasikan kepada masyarakat. Hasilnya tidak boleh hanya berupa pernyataan normatif, tetapi harus disajikan dalam format yang dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Jika memang terjadi pelanggaran, Pertamina harus menunjukkan komitmen untuk menindaklanjuti dan membersihkan manajemen dari oknum yang terlibat.
Selain itu, komunikasi publik yang lebih personal dan langsung juga harus diperkuat. Daripada hanya menggunakan influencer, Pertamina dan pemerintah perlu hadir secara langsung di hadapan publik, baik melalui media konvensional maupun digital. Direktur utama atau pejabat terkait harus secara aktif berkomunikasi dalam forum publik, talk show, atau diskusi terbuka untuk menjelaskan langkah-langkah yang diambil dalam menghadapi krisis ini. Gunakan pendekatan humanis, di mana para pejabat tinggi Pertamina tidak hanya berbicara sebagai korporasi, tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang juga ingin memastikan kualitas BBM yang mereka gunakan sehari-hari.
Penting pula untuk melibatkan masyarakat dalam reformasi. Membentuk forum pengaduan terbuka bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan terkait BBM, baik dari sisi kualitas maupun pelayanan di SPBU, bisa menjadi langkah awal. Selain itu, akademisi dan komunitas konsumen perlu dilibatkan dalam melakukan pengawasan bersama terhadap produksi dan distribusi BBM. Masyarakat harus diberikan akses untuk ikut serta dalam pengawasan harga dan kualitas BBM secara langsung, bukan hanya mengandalkan informasi dari pemerintah dan Pertamina.
Dari sisi digital, strategi mengontrol narasi di media sosial secara organik juga harus diperhatikan. Alih-alih hanya melakukan damage control melalui influencer atau media resmi, Pertamina harus mulai membangun komunitas digital yang dapat menjadi suara organik dalam membela perusahaan. Karyawan Pertamina sendiri bisa lebih terbuka dalam menjelaskan bagaimana mereka bekerja dan memastikan kualitas BBM. Selain itu, konten edukatif berbasis data dapat digunakan untuk menjelaskan proses produksi Pertamax secara lebih transparan dan dapat dipercaya oleh masyarakat.
Kasus “Pertamax Oplosan” menjadi bukti bahwa krisis komunikasi di era digital tidak bisa hanya diatasi dengan klarifikasi atau pengelolaan narasi media sosial. Publik tidak hanya menginginkan jawaban teknis, tetapi juga komitmen nyata dalam membersihkan Pertamina dari praktik korupsi. Jika Pertamina dan pemerintah dapat menggunakan momentum ini untuk melakukan reformasi menyeluruh, krisis ini justru bisa menjadi titik balik untuk membangun kembali kepercayaan publik. Namun, jika hanya fokus pada strategi komunikasi dangkal seperti menggunakan influencer atau sekadar membantah tuduhan tanpa tindakan konkret, maka bukan tidak mungkin boikot dan cancel culture terhadap Pertamina akan semakin kuat dan berkelanjutan yang dapat berimbas pada kebijakan Nasional.
Kunci utama dalam mengelola isu ini bukan hanya bagaimana mengendalikan narasi, tetapi bagaimana menunjukkan perubahan nyata yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Jika momentum ini dimanfaatkan dengan baik, maka bukan hanya Pertamina yang akan kembali dipercaya, tetapi juga sektor energi nasional secara keseluruhan.
Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom.
Pengasuh Rubrik Big Data di Aktual.co.id
Kepala Laboratorium Integrated Digital – FISIBPOL – UPN “Veteran” Jatim
Founder ASIGTA Group