Aktual.co.id – Budaya Jawa sudah mengenal tradisi Suro sejak zaman kerajaan Mataram Kuno hingga saat ini. Penamaan kata Suro sendiri berasal dari 10 hari bulan Muharram atau bisa disebut Asyura yang berarti hari ke 10.
Dalam pemahaman masyarakat Islam di Jawa, bulan Suro identik dengan Muharram, dan 10 Muharram dianggap sebagai hari suci karena berbagai peristiwa penting dalam sejarah para Nabi.
Dalam bahasa Jawa, pengucapan Asyura berubah menjadi Suro, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Islam-Jawa.
Tradisi ini bermula dari penggabungan antara Kalender Saka dengan Kalender Hijriah menjadi Kalender Jawa oleh Sultan Agung di zaman pemerintahannya yakni pada tahun 1613-1645 M.
Menurut aliran kepercayaan Islam-Jawa, Kata “Suro” memiliki makna penting yakni 10 hari pertama bulan suro merupakan waktu yang paling keramat. Masyarakat Islam-Jawa memandang “kekeramatan” pada bulan suro itu sendiri disebabkan oleh faktor dari budaya keraton dan bukan dari “kesangaran” bulan Suro itu sendiri.
Karena keramat maka di Bulan Suro atau Muharram ini ada tradisi dilarang menggelar acara pernikahan. Alasan ini sudah turun menurun di kalangan masyarakat Jawa sehingga setiap Bulan Suro jarang sekali ada pesta pernikahan.
Menurut penulisan jurnal oleh Za’farullah Jamaly yang diterbitkan oleh Leksikon : Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra dan Budaya dengan judul Bulan Suro Perspektif Islam dan Tradisi Bulan Suro di Pulau Jawa yang diterbitkan UPT Publikasi dan Penerbitan Universitas San Pedro, menyebutkan ada beberapa larangan pernikahan ketika berada di Bulan Suro.
“Bulan ini dianggap memiliki aura keramat, di mana segala jenis hajatan, termasuk pernikahan, dilarang dilakukan selama bulan Suro,” tulis Za’farullah dalam tulisan jurnalnya.
Pasangan yang nekat melanggar larangan ini, beserta kedua keluarga besar mereka, dipercayai akan menghadapi malapetaka atau musibah.
Keyakinan masyarakat Jawa menyatakan bahwa menikah di bulan Suro, atau bulan Muharram, dapat dipengaruhi oleh sasi ala kanggo ijab ing penganten, yang dapat menyebabkan pertengkaran sering terjadi dan menemukan kerusakan dalam hubungan.
“Oleh karena itu, menikah di bulan yang dianggap tidak baik ini dianggap tidak disarankan, karena diyakini membawa dampak negatif pada kehidupan pernikahan,” ketiknya.
Masyarakat Islam-Jawa percaya bahwa bulan Suro memiliki kemuliaan yang menyebabkan menghindari kegiatan sakral seperti pernikahan, khitanan, dan hajatan lainnya.
Namun, masyarakat Jawa secara umum percaya bahwa bulan Suro begitu mulia dan dimiliki oleh Allah sehingga dianggap terlalu suci untuk melibatkan diri dalam kegiatan tertentu.
“Oleh karena itu, bulan Suro dianggap sebagai bulan hajatan bagi keraton, sementara masyarakat biasa cenderung menghindari melangsungkan acara tertentu pada bulan tersebut,” ketik Za’farullah.
Larangan menikah pada bulan Suro bukan karena bulan ini dianggap berbahaya, tetapi karena dianggap terlalu mulia bagi manusia biasa, sehingga melibatkan diri dalam hajatan dianggap kurang pantas.
Dalam konteks perkawinan, larangan menikah pada bulan Suro mencerminkan keyakinan yang kuat dalam masyarakat Jawa.
Hal ini terkait dengan kepercayaan bahwa bulan tersebut terlalu mulia untuk kegiatan manusia biasa, serta adanya pantangan terkait urutan kelahiran dan weton. (ndi)
