Aktual.co.id – Di tengah laju revolusi digital, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. AI kini tidak hanya hadir di laboratorium riset atau perusahaan teknologi besar tetapi juga telah merasuk ke dalam aktivitas sehari-hari mulai dari pelajar dan mahasiswa yang menggunakannya untuk belajar dan mengerjakan tugas hingga para pegawai atau pekerja yang mengandalkannya untuk menganalisis data, menyusun laporan, atau membuat keputusan bisnis.
Dibalik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan muncul satu ancaman besar yang mengintai di bawah permukaan: persepsi keliru tentang “kebenaran” AI. Banyak orang tanpa sadar menjadikan AI sebagai sumber kebenaran absolut. Padahal sistem AI bekerja hanya berdasarkan data yang dipelajari bukan dari pemahaman atau kebijaksanaan. Bila data yang digunakan salah, bias, atau tidak relevan, maka output yang dihasilkan bisa menjadi senjata yang merusak.
Fenomena ini sangat berbahaya namun tipis terasa. Dalam perspektif komunikasi digital, Jean Baudrillard mengingatkan kita pada konsep simulacra — di mana realitas tergantikan oleh representasi buatan yang tampak lebih nyata dari kenyataannya sendiri. AI yang menyajikan jawaban instan, meskipun berbasis data yang terbatas akan dapat membentuk persepsi massal tentang apa yang disebut sebagai “fakta.” Inilah jebakan kognitif yang membuat publik cenderung mempercayai apa yang terlihat meyakinkan bukan yang benar-benar akurat.
Dalam perspektif psikologi digital, efek cognitive offloading menjelaskan bagaimana manusia kini menyerahkan proses berpikir dan pengambilan keputusan kepada mesin. Ketika otak tidak lagi dilatih untuk berpikir kritis karena semuanya telah disediakan oleh AI maka terjadilah penurunan daya analisis, ingatan, dan bahkan empati. Ini bukan sekadar tantangan edukatif, tapi krisis psikologis kolektif yang mengancam kesehatan kognitif generasi masa depan.
Bayangkan jutaan pelajar di seluruh Indonesia yang menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas sekolah tanpa memahami materi yang sebenarnya. Ini bukan hanya menciptakan generasi malas berpikir tetapi juga menciptakan generasi yang lemah dalam logika, etika, dan nalar kritis. Lebih dari sekadar masalah pendidikan, ini adalah ancaman terhadap kualitas sumber daya manusia bangsa.
Dalam ranah kerja, ketergantungan buta terhadap AI bisa menimbulkan kehancuran sistemik. Keputusan bisnis berbasis analisis AI yang salah bisa menjatuhkan perusahaan, menimbulkan PHK massal, atau bahkan menciptakan krisis kepercayaan di pasar. Dalam kasus tertentu, manipulasi data oleh pihak tak bertanggung jawab dapat digunakan untuk memanipulasi opini publik, menyebarkan disinformasi, dan menciptakan konflik horizontal yang berbahaya.
Sosiolog Manuel Castells memperingatkan bahwa dalam masyarakat jaringan (network society), kekuasaan tidak lagi berada pada negara atau institusi tradisional melainkan pada pengendali informasi. Jika algoritma AI dikendalikan oleh segelintir korporasi global maka pada hakikatnya kita sedang menyaksikan lahirnya bentuk baru kolonialisme digital. Data kita menjadi komoditas dan persepsi kita dikendalikan oleh sistem yang tak kita pahami.
Michel Foucault pun telah lama menyoroti bagaimana kekuasaan modern bekerja melalui pengetahuan dan pengawasan. AI adalah alat panoptikon digital: ia merekam, mengawasi, dan memprediksi perilaku kita. Kita merasa bebas menggunakan teknologi padahal sedang dipantau dan dibentuk secara halus oleh kekuatan yang tak terlihat.
Kita tidak sedang berbicara tentang fiksi ilmiah. Ini adalah kenyataan yang sedang kita hadapi. AI dapat dengan mudah menyebarkan informasi palsu dalam skala masif dan dalam waktu singkat. Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat bisa terseret dalam arus kebohongan digital yang sistematis dan mengakar. Ini dapat memicu perpecahan sosial, polarisasi politik, bahkan kekacauan nasional.
Bahaya lainnya adalah hilangnya identitas intelektual bangsa. Ketika anak-anak muda lebih percaya pada mesin daripada pada gurunya, ketika pejabat lebih mengandalkan AI daripada kajian akademis atau kearifan lokal maka kita sedang menciptakan peradaban yang kosong jiwa dan rapuh secara moral.
Sudah saatnya pemerintah turun tangan lebih serius. Literasi digital harus menjadi prioritas utama pendidikan nasional. Harus ada regulasi ketat terhadap penggunaan dan pengembangan AI termasuk transparansi data dan algoritma. Tidak kalah penting, publik perlu diberi pemahaman mendalam bahwa AI bukan pengganti nalar manusia, melainkan alat bantu yang tetap harus dikendalikan oleh akal sehat, nilai kemanusiaan, dan etika.
Di tengah derasnya arus teknologi, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi bangsa yang cerdas memanfaatkan AI atau menjadi korban dari ketidaktahuan kita sendiri. Jangan sampai kita menyesal ketika semuanya sudah terlambat, saat generasi masa depan tak lagi mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, karena semua telah dibentuk oleh kebenaran semu buatan mesin.
AI bukanlah penyelamat. Jika tidak diawasi dan disikapi dengan benar, ia bisa menjadi bencana intelektual, psikologis, dan sosial terbesar abad ini bagi bangsa kita.
Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom.
Pengasuh Rubrik Big Data di Aktual.co.id
Kepala Laboratorium Integrated Digital – FISIBPOL – UPN “Veteran” Jatim
Founder ASIGTA Group