Aktual.co.id – Isu mengenai bahan bakar minyak (BBM) kembali menjadi sorotan setelah berkembangnya narasi tentang “Pertamax Oplosan”. Discourse yang menyebar luas di media sosial ini menyebutkan bahwa Pertamax yang dijual di pasaran merupakan hasil oplosan dari Pertalite.
Isu ini ramai setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023. PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “diblending” atau dioplos menjadi Pertamax. Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
Informasi pelanggaran hukum yang sangat menyakiti masyarakat Indonesia. Berbagai komentar bermunculan, seperti “Bahkan saat berniat baik pakai Pertamax karena merasa tak berhak disubsidi pun, kita tetap ditipu di negara ini”. Mereka pun akhirnya ramai-ramai bersuara di media sosial.
Di sisi lain pemerintah melalui Pertamina menegaskan bahwa informasi tersebut tidak benar dan bahwa Pertamax tetap diproduksi sesuai dengan standar yang ditetapkan. Namun meski pemerintah telah membantah, narasi publik justru terus berkembang dan semakin sulit dikendalikan. Pertamax menjadi trending di berbagai media sosial (menjadi viral).
Dalam era digital yang penuh disrupsi, kuasa pengetahuan tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Masyarakat kini memiliki peran besar dalam membentuk opini publik melalui berbagai platform digital seperti media sosial, YouTube, dan forum diskusi daring.
Situasi ini membuat pemerintah menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan kendali atas Discourse kebijakan. Lemahnya peran pemerintah dalam jaringan komunikasi digital berpotensi menyebabkan krisis komunikasi yang lebih luas, di mana masyarakat lebih percaya pada informasi yang berkembang di media sosial dibandingkan dengan klarifikasi resmi.

Hasil analisis jaringan komunikasi digital menunjukkan bahwa isu “Pertamax Oplosan” didominasi oleh aktor-aktor non-pemerintah, termasuk media independen, jurnalis warga, hingga konten kreator YouTube. Kata kunci yang paling banyak digunakan dalam diskusi ini antara lain Pertamax, Oplosan, Pertamina, Korupsi, dan Patra Niaga. Belum lagi isu “tertipu” menjadi diksi yang semakin menguat.
Pemerintah dalam hal ini Pertamina, tampaknya kalah dalam kontestasi digital (hingga hari ini), sehingga tidak mampu mengendalikan narasi yang berkembang di masyarakat. Dalam perspektif kuasa pengetahuan ala Michel Foucault bahwa informasi tidak hanya bergantung pada kebenaran objektif, tetapi lebih kepada siapa yang mampu menyebarkan dan menguasai Discourse secara lebih luas.
Kondisi ini memunculkan beberapa dampak serius. Pertama, melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan Pertamina, yang bisa berdampak pada resistensi terhadap kebijakan energi nasional. Kedua, adanya distorsi kebijakan yang bisa memicu penolakan terhadap regulasi harga BBM, yang pada akhirnya berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial. Ketiga, dominasi Discourse oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, termasuk kelompok oposisi, yang dapat memperburuk polarisasi opini publik terhadap kebijakan energi.

Untuk mengatasi krisis komunikasi ini, pemerintah dan Pertamina perlu menerapkan strategi komunikasi digital yang lebih efektif. Pertama, meningkatkan keterlibatan dalam diskursus digital dengan aktif berpartisipasi di media sosial dan platform berbasis video seperti YouTube. Kedua, menggunakan format komunikasi yang lebih engaging, seperti infografis, video pendek, dan animasi interaktif, agar informasi lebih mudah dipahami dan diterima masyarakat.
Ketiga, agar kebijakan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat, pemerintah perlu mengadopsi strategi komunikasi digital yang lebih proaktif dan sistematis. Sudah sewaktunya pemerintah menggunakan metode riset sosial berbasis big data dengan analisis komunikasi big data untuk “memahami” dalam perspektif baru bagaimana informasi kebijakan tersebar, mengidentifikasi video berpengaruh, serta memahami tren diskursus digital. Keempat, merespons dengan cepat dan konsisten terhadap misinformasi yang berkembang di ruang digital agar pemerintah tidak tertinggal dalam membentuk opini publik.
Fenomena “Pertamax Oplosan” menjadi pelajaran penting (kembali) bahwa di era digital, narasi publik bisa berkembang jauh dari kendali pemerintah jika strategi komunikasi tidak dilakukan secara tepat. Jika pemerintah terus kalah dalam kuasa pengetahuan, maka bukan tidak mungkin krisis komunikasi ini akan semakin membesar dan merugikan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan negara. Oleh karena itu, strategi komunikasi berbasis big data dan pendekatan digital yang lebih relevan harus segera diterapkan agar informasi yang disampaikan pemerintah dapat diterima dengan lebih baik oleh masyarakat.
Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom.
Pengasuh Rubrik Big Data di Aktual.co.id
Kepala Laboratorium Integrated Digital – FISIBPOL – UPN “Veteran” Jatim
Founder ASIGTA Group