Aktual.co.id – Perasaan puas menggulir video TikTok atau berbelanja daring secara impulsif menyerupai kelegaan setelah menggaruk gatal. Inilah cara kerja dopamin, zat kimia dalam otak atau neurotransmitter yang bertanggung jawab perasaan puas.
Ketergantungan pada dorongan dopamin ini dapat menyebabkan perubahan otak yang bertahan lama, terutama pada remaja dan dewasa muda. Inilah yang dipelajari Laura Elin Pigott, peniliti saraf di Southbank University, London.
“Kami menyelidiki koneksi otak mana yang berubah karena meningkatnya keterlibatan media sosial — atau “penambangan dopamin,” ungkapnya. Menurutnya, penggunaan media sosial mengaktifkan otak untuk kecanduan seperti halnya narkoba, alcohol, dan perjudian.
“Penelitian menunjukan setiap kali mendapat notifikasi, “suka” sistem penghargaan otak yang disebut nukleus akumbens akan aktif,” ungkapnya.
Sistem saraf ini sama ketika seseorang memenangkan perjudian atau mendapatkan camilan yang sesuai favoritnya. “Karena bagian dari candu maka otak sulit menghentikan kebiasaan scroll media sosial seperti halnya kecanduan narkoba,” jelas Laura.
Banyak yang tidak sadar jika media sosial sangat adiktif. Karena tidak sedikit yang tidak sadar bahwa neuron di dalam otak memangkas untuk mendapatkan penghargaan secara cepat.
Artinya, otak secara otomatis akan merespon secara instan kepuasan ketika melihat jumlah view postingan. Seiring berjalannya waktu, pemangkasan ini dapat mengecilkan ukuran area otak tertentu, seperti amigdala dan nukleus akumbens, yang merupakan kunci mengendalikan emosi dalam membuat keputusan.
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang menghabiskan banyak waktu di media sosial cenderung stres, cemas, atau bahkan depresi. Karena aplikasi seperti Instagram dirancang membuat seseorang mencari validasi dari orang lain.
Jika tidak mendapatkan like atau komentar akan memengaruhi harga diri. Sementara bagi yang jarang menggunakan media sosial melaporkan lebih nyaman dan percaya diri tanpa membutuhkan validasi orang lain.
Dampak media sosial pada otak hanyalah permulaan. Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah menggali lebih dalam bagaimana media sosial mengganggu “jaringan mode default” otak yang tidak fokus pada tugas tertentu
Jaringan mode default ini memainkan peran besar cara memproses diri, membuat keputusan, dan mengatur emosi seseorang. “Jika terganggu, maka pengguna media sosial kesulitan memperhatikan, mengendalikan emosi, dan mempertahankan kebiasaan mental yang sehat,” ungap Laura Elin Pigott.
Pesan dari peneliti adalah tidak perlu meninggalkan media sosial, namun menyadari dampak terhadap otak dan pengendalian dalam penggunaan media sosial. (ndi)
