Aktual.co.id – Perang dagang antara Amerika Serikat dan China membuka babak baru dalam dinamika ekonomi global. Namun di balik panasnya tensi tarif dan persaingan hegemoni dua kekuatan dunia ini, ASIGTA (analisis komunikasi big data) justru menunjukkan peluang baru bagi negara berkembang seperti Indonesia—terutama dalam sektor Usaha Mikro, Keecil, dan Menengah (UMKM). Ketika dunia sibuk membicarakan tarif ekspor dan strategi logistik, ada satu hal lain yang berubah secara diam-diam: persepsi publik terhadap produk branded internasional.
Belakangan ini ruang digital diramaikan oleh konten viral yang membongkar realitas mengejutkan: banyak produk branded dunia—tas mewah, sepatu eksklusif, bahkan topi kampanye presiden AS—ternyata diproduksi secara massal di China, menggunakan material dengan biaya rendah, dan hanya “dilipat” dengan label harga ratusan juta rupiah. Mereka sering mengandalkan satu diksi untuk membenarkan harga tinggi: “handmade” atau “buatan tangan manusia”. Kata ini dimaknai sebagai seeuatu hal yang eksklusif padahal kenyataannya, UMKM di seluruh Indonesia sudah melakukan praktik ini sejak lama—tanpa klaim mewah, tanpa markup berlipat, dan dengan keterampilan otentik yang diwariskan lintas generasi (kearifann lokal).
Dalam konteks teori simulakra dari Baudrillard, branded luxury menjadi tidak lebih dari konstruksi simbolik—representasi kemewahan tanpa dasar material yang jelas. Produk branded dijual bukan karena nilainya tetapi karena makna sosial yang dibangun melalui komunikasi visual dan iklan: seolah-olah buatan Italia, padahal dari jalur pabrik yang sama di Guangzhou. Dalam bahasa lain, konsumen membeli “mimpi” bukan barang.
Kondisi ini menciptakan disonansi kognitif (Leon Festinger) yaitu ketika konsumen dihadapkan pada kenyataan yang bertentangan dengan keyakinan lamanya. Mereka mulai mempertanyakan: apakah tas mewah itu benar-benar eksklusif? Apakah kualitasnya benar-benar sepadan dengan harga? dan ketika persepsi itu terguncang, ruang narasi baru pun terbuka—yang bisa dan harus diisi oleh UMKM lokal.
Melalui lensa teori konstruksi sosial realitas (Berger & Luckmann), kita paham bahwa makna sebuah produk bukan bawaan lahir, tetapi dibentuk melalui interaksi sosial, media, dan komunikasi berulang. Maka jika kita ingin menjadikan produk UMKM sebagai simbol kelas menengah yang membanggakan, dalam pembacaan ASIGTA (Analisis Komunikasi Big DATA) kita dapat membentuk makna itu melalui orkestrasi komunikasi digital yang cerdas dan terstruktur.

Inilah momentum UMKM kita punya keunggulan bukan hanya pada harga, tapi juga pada nilai budaya, keaslian produksi, dan koneksi emosional dengan komunitas. Ketika publik mulai menyadari bahwa “kemewahan” hanyalah persepsi yang bisa dibentuk, saat itulah produk lokal bisa tampil sebagai alternatif yang lebih jujur dan membumi.
Namun peluang ini tak akan berubah menjadi lompatan strategis tanpa kehadiran negara. Pemerintah pusat dan daerah harus hadir sebagai arsitek ekosistem baru: menyusun regulasi afirmatif, membentuk narasi kebijakan publik, dan mendukung orkestrasi komunikasi di seluruh kanal digital. Hal sederhana misalnya dengan mewajibkan batik lokal dalam kegiatan resmi daerah, menghidangkan kopi lokal di acara pemerintahan, hingga menetapkan produk UMKM sebagai merchandise wajib dalam setiap forum kenegaraan.
Di sisi lain fenomena flexing sosial—yang selama ini didorong oleh persepsi palsu terhadap produk branded—juga harus didekonstruksi melalui literasi digital. ASIGTA menunjukkan perubahan ini sedang berlangsung: generasi muda kini mulai mengasosiasikan kebanggaan dengan produk lokal, bukan sekadar barang bermerek luar negeri.
UMKM pun harus siap dengan kualitas produk, storytelling merek, dan kemampuan digital adalah prasyarat mutlak. Pemerintah harus hadir sebagai pendamping dan akselerator—melalui pelatihan, inkubasi bisnis, dan promosi lintas platform. Ketika produk UMKM hadir bukan hanya sebagai barang konsumsi, tapi juga sebagai bagian dari narasi identitas sosial, kepercayaan publik akan tumbuh.
Perang dagang global ini bukan sekadar adu tarif dan logistik. Ia adalah panggung besar perubahan persepsi konsumen dunia. Indonesia harus segera mengisi ruang itu, dan UMKM-lah yang paling layak tampil di depan. Ini adalah momen kita untuk membangun ulang makna “kemewahan”—dari gimik marketing menjadi ekspresi keaslian dan kebanggaan bangsa.
Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom.
Pengasuh Rubrik Big Data di Aktual.co.id
Kepala Laboratorium Integrated Digital – FISIBPOL – UPN “Veteran” Jatim
Founder ASIGTA Group