Aktual.co.id – Di tengah gemerlap dunia digital, media sosial kini bukan hanya sekadar ruang hiburan—ia telah menjelma menjadi panggung jujur bagi netizen untuk menyuarakan isi hati, keresahan, sekaligus realitas sosial yang mereka alami.
Teridentifikasi melalui ASIGTA (Analisis Komunikasi Big Data), jagat maya Indonesia diramaikan oleh tren konten-konten yang menyoroti kesenjangan sosial dengan gaya yang menghibur namun menusuk. Mulai dari lelucon “itu suara apa, disana hujan yak?” – “bukan, suara kipas” hingga kebingungan menyebut “AYCE” sebagai es krim padahal “All You Can Eat”, semua ini bukan sekadar sindiran, melainkan potret nyata betapa lebar jurang gaya hidup yang ada di tengah masyarakat kita.
Di balik konten-konten viral itu tersembunyi suara-suara curahan hati yang semakin lantang. Kolom komentar berubah menjadi ruang publik tempat orang saling menyapa dalam bahasa yang sangat manusiawi yakni pengalaman.
Mereka bercerita bagaimana standar hidup di media sosial membuat banyak orang merasa ketinggalan, minder, atau bahkan gagal. Fenomena ini memperlihatkan bahwa media sosial telah menjadi jendela yang menampilkan “kelas sosial virtual”, tempat di mana kemampuan untuk makan enak, berlibur, atau hanya hidup nyaman, menjadi simbol status baru. Yang dulunya merupakan pengalaman pribadi, kini menjadi tontonan publik yang dinilai, dibandingkan, dan disimpulkan secara massal.
Tren ini bisa dijelaskan melalui teori konstruksi sosial oleh Berger dan Luckmann, di mana realitas dibentuk melalui interaksi dan komunikasi. Apa yang dianggap “normal” hari ini—dari gaya hidup, konsumsi, hingga estetika rumah—bukan lagi ditentukan oleh pengalaman nyata mayoritas masyarakat, melainkan oleh konten viral yang membentuk ilusi standar kehidupan. Bahkan sebagaimana dikemukakan dalam pemikiran postmodern seperti teori simulakra oleh Baudrillard, masyarakat kini tidak lagi hidup dalam realitas, tetapi dalam gambaran realitas yang telah disalin dan dimanipulasi sedemikian rupa hingga terasa lebih nyata dari aslinya.

Reaksi publik terhadap tren ini pun beragam. Sebagian menganggapnya lucu dan menghibur, sebagian lain merasa relate karena merasakan pengalaman yang sama. Namun di tengah tawa itu, terselip perasaan sedih dan jengah. Banyak orang mulai menyadari bahwa kesenjangan bukan lagi tentang data ekonomi yang abstrak, melainkan tentang pengalaman sehari-hari yang semakin sulit dijangkau. Sayangnya jika terus-menerus dikonsumsi tanpa pemahaman kritis, tren ini bisa memunculkan kelelahan kolektif, bahkan apatisme sosial. Ketimpangan yang seharusnya menjadi perhatian bersama bisa justru berubah menjadi komoditas hiburan tanpa dampak sosial yang nyata.
Di sinilah pentingnya semua pemangku kepentingan ikut membaca dan merespons sinyal sosial ini. Pemerintah dan dinas terkait tidak bisa lagi hanya mengandalkan data statistik sebagai tolok ukur keberhasilan kebijakan. Mereka perlu memahami bahwa persepsi keadilan sosial kini juga dibentuk oleh narasi digital. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus menjadikan tren ini sebagai peluang untuk menyuarakan keadilan sosial melalui pendekatan yang kontekstual dan berbasis pengalaman warga. Akademisi khususnya di bidang komunikasi big data, memiliki peran penting untuk menguraikan dinamika ini sebagai bagian dari perubahan masyarakat digital. Dan tentu saja para wakil rakyat harus menyadari bahwa kesenjangan sosial tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada psikologi kolektif dan struktur sosial bangsa ini secara luas.
Fenomena ini seharusnya menjadi pengingat bahwa kesenjangan sosial kini hidup dalam narasi-narasi harian yang dikonsumsi jutaan orang. Ia tidak lagi bisa disembunyikan di balik angka-angka makroekonomi. Ia telah menjadi bagian dari budaya pop—dilihat, dibagikan, ditertawakan, dan dirasakan. Konten, curhat, dan realitas kini terhubung dalam satu ekosistem sosial baru yang menuntut empati, literasi digital, dan keberpihakan yang nyata. Jika dikelola dengan bijak, kesadaran kolektif yang muncul dari media sosial ini bisa menjadi kekuatan untuk mendorong perubahan. Tapi jika dibiarkan ia bisa menjadi panggung besar bagi rasa tidak adil yang terus mengakar—dan itu akan jauh lebih sulit untuk dibenahi.
Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom.
Pengasuh Rubrik Big Data di Aktual.co.id
Kepala Laboratorium Integrated Digital – FISIBPOL – UPN “Veteran” Jatim
Founder ASIGTA Group