Aktual.co.id – Media sosial kembali menjadi sorotan setelah perbincangan mengenai “standar TikTok” ramai dibahas di Twitter. Banyak pengguna berbagi pengalaman tentang bagaimana standar kecantikan dan gaya hidup yang ditampilkan di platform ini berkontribusi pada pertengkaran rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga perceraian.
Fenomena Standar TikTok
TikTok, sebagai platform berbasis video pendek, menjadi ajang bagi para penggunanya untuk menampilkan berbagai konten, mulai dari tren fashion, kecantikan, hingga gaya hidup mewah. Seiring dengan meningkatnya popularitas platform ini, muncul pula fenomena “standar TikTok,” yakni ekspektasi tinggi terkait penampilan dan gaya hidup yang dianggap ideal oleh banyak pengguna.
Data yang diperoleh dari analisis komunikasi big data Twitter dan penguatan pembacaan media sosial serta non-media sosial menunjukkan peningkatan signifikan dalam perbincangan mengenai “standar TikTok” di Twitter sejak awal Januari 2025. Lonjakan diskusi terjadi pada tanggal 2 Januari dan kembali meningkat tajam pada 21-22 Januari 2025, dengan lebih dari 200 percakapan per hari yang mengaitkan fenomena ini dengan isu rumah tangga, tekanan sosial, dan dinamika hubungan.
Menurut laporan terbaru (6 Januari 2025 – 5 Februari 2025), volume penyebutan ‘standar TikTok’ mengalami peningkatan tajam dari sebelumnya hanya beberapa sebutan menjadi 399 kali dalam sebulan. Jangkauan media sosial mencapai lebih dari 3,2 juta pengguna, sementara non-media sosial mencatatkan jangkauan sebesar 219 ribu. Teridentifikasi160 penyebutan bersifat negatif, menunjukkan adanya respons yang beragam terhadap fenomena ini.
Dampak Terhadap Hubungan dan Rumah Tangga
Berdasarkan analisis jaringan komunikasi X (Twitter) dan laporan dari berbagai platform media sosial dan non-media sosial, terdapat beberapa pola utama dalam percakapan ini:
- Ekspektasi Tidak Realistis Percakapan didominasi oleh keluhan tentang tekanan dalam memenuhi standar kecantikan atau gaya hidup yang dipromosikan di TikTok. Beberapa pasangan mengalami konflik karena perbedaan pandangan mengenai bagaimana kehidupan rumah tangga seharusnya terlihat.
- Perbandingan Sosial Berlebihan Data menunjukkan bahwa kelompok percakapan dengan kata kunci “standar”, “TikTok”, “hidup”, “perbandingan” dan “ekspektasi” terhubung erat dengan diskusi tentang ketidakpuasan dalam hubungan. Hal ini menandakan adanya peningkatan rasa tidak aman dan kekecewaan akibat membandingkan kehidupan pribadi dengan standar yang dianggap ideal di media sosial.
- Tekanan untuk Mengikuti Tren Banyak pasangan mengaku menghadapi tekanan untuk mengikuti tren viral, yang dalam beberapa kasus bertentangan dengan nilai atau kebiasaan mereka. Jaringan diskusi di media sosial X (Twitter) menunjukkan keterkaitan kuat antara kata “tren”, “pasangan”, “ikutin” dan “hubungan”, yang mengindikasikan adanya tekanan sosial dalam konteks rumah tangga.
- Pemicu Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Dalam beberapa kasus ekstrem, data menunjukkan adanya korelasi antara “standar TikTok” dan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Percakapan dalam cluster ini mengaitkan tekanan sosial dengan meningkatnya emosi negatif yang berujung pada pertengkaran.
- Perceraian Akibat Konflik yang Tak Terkendali Temuan menunjukkan bahwa perbincangan tentang perceraian meningkat seiring dengan diskusi mengenai standar TikTok. Data komunikasi memperlihatkan keterkaitan erat antara kata “cerai”, “standar”, “pasangan”, dan “emosi”, yang menunjukkan bahwa konflik yang dipicu oleh ekspektasi sosial ini dapat berujung pada perpisahan.

Pendalaman Temuan oleh Pakar Komunikasi Big Data
Menurut Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom., Pakar Analisis Komunikasi Big Data sekaligus Kepala Laboratorium Integrated Digital – FISIBPOL – UPN “Veteran” Jawa Timur, fenomena ini mencerminkan bagaimana algoritma media sosial menciptakan ekosistem informasi yang dapat memperkuat ekspektasi tidak realistis.
“Algoritma TikTok memprioritaskan konten yang menarik engagement tinggi, sehingga semakin banyak orang yang terpapar standar yang dianggap menarik oleh mayoritas pengguna. Ini memicu fenomena perbandingan sosial yang intens, yang dapat berdampak pada dinamika hubungan rumah tangga,” jelasnya.
Dr. Irwan juga menambahkan bahwa tren ini memerlukan perhatian lebih lanjut, terutama dari sisi psikologi sosial dan keluarga. “Peran media sosial dalam membentuk ekspektasi hubungan perlu dikaji lebih dalam, terutama dalam konteks bagaimana individu memproses informasi dan membangun persepsi tentang kehidupan mereka sendiri berdasarkan apa yang mereka lihat di platform seperti TikTok.”

Insight
Standar TikTok yang kini menjadi tren di media sosial memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap hubungan rumah tangga. Ekspektasi tidak realistis, perbandingan sosial, serta tekanan untuk mengikuti tren dapat memicu konflik, bahkan berujung pada KDRT dan perceraian.
“Temuan dari analisis komunikasi big data dan laporan media sosial serta non-media sosial menunjukkan bahwa lonjakan perbincangan mengenai fenomena ini berkorelasi dengan isu sosial yang lebih luas, termasuk persepsi terhadap hubungan ideal yang terus dipengaruhi oleh media sosial,” kata dia.
Untuk itu, temuan ini sebaiknya dikaji lebih lanjut oleh para psikolog guna memahami dampaknya terhadap kesejahteraan mental dan dinamika keluarga secara lebih mendalam. Pendekatan multidisiplin antara komunikasi big data dan psikologi diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih komprehensif dalam menghadapi fenomena ini.
“Selain itu, temuan ini menjadi masukan yang sangat penting bagi dinas terkait, misalnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai dasar program kerja mereka dan tolak ukur keberhasilan dalam penanganan kasus berbasiskan data,” katanya.
Menurutnya, dinas terkait harus segera bertindak sebelum situasi ini semakin tak terkendali. Jika tidak ada langkah konkret, maka akan menghadapi gelombang masalah sosial yang lebih besar, yaitu perceraian yang meningkat, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh konflik, dan pelemahan institusi keluarga.
“Jika fenomena ini terus diabaikan, standar-standar tidak realistis dari media sosial dapat mengikis nilai-nilai keluarga dan memperburuk krisis sosial yang sudah ada. Kebijakan dan intervensi yang berbasis data sangat dibutuhkan untuk mencegah dampak jangka panjang yang lebih parah,” pungkasnya. (raf)