Aktual.co.id – Sebuah studi yang diterbitkan Research on Child and Adolescent Psychopathology menemukan bahwa remaja laki-laki di tahanan anak yang mengalami cedera otak traumatis cenderung menunjukkan tingkat psikopat yang lebih tinggi.
Penelitian ini menyoroti tingkat keparahan cedera otak dan jumlah cedera terkait fungsi kognitif yang lebih rendah dengan penggunaan zat yang lebih tinggi di mana faktor ini dikaitkan ciri-ciri psikopat yang menonjol.
Cedera otak traumatis, yang disebabkan pukulan atau sentakan pada kepala, dapat mengganggu fungsi otak. Meskipun gejalanya bervariasi, cidera otak memiliki kesulitan jangka panjang dalam berpikir, mengatur emosi, dan berperilaku.
Remaja yang memiliki cidera otak cenderung terlibat tindak pidana kriminal yang lebih tinggi, serta penggunaan zat terlarang, agresi, dan kesehatan mental yang buruk.
Peneliti juga menemukan perilaku impulsivitas, sikap tidak berperasaan, dan manipulasi, bagi remaja yang mengalami cidera di kepala.
Ciri-ciri ini dikelompokkan menjadi dua domain: ciri-ciri interpersonal dan afektif, seperti kurangnya empati dan emosi yang dangkal. Dan ciri-ciri gaya hidup dan antisosial, seperti impulsivitas dan perilaku kriminal.
Masih ada potensi bertumbuhnya otak pada remaja, maka peneliti merekomendasikan agar terapi pegobatan tetap dilanjutkan untuk pencegahan tindak kriminal lebih parah.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui ciri – ciri psikopat yang berhubungan dengan aspek tingkat keparahan pada cidera otak. Para peneliti juga mengamati keterkaitan cedera otak terkait dengan psikopati melalui penggunaan zat pengobatan trauma otak.
Peneliti merekrut 263 remaja laki-laki, berusia 14 hingga 21 tahun, dari penahanan remaja dengan keamanan maksimum di New Mexico.
Lebih dari separuh peserta (54%) melaporkan mengalami satu cedera otak traumatis. Beberapa responden mengalami cidera kecil hingga cedera sedang dan berat.
Setiap peserta menyelesaikan beberapa tes. Penilaian meliputi wawancara terstruktur guna mengukur ciri-ciri psikopat, tes memperkirakan kecerdasan, dan evaluasi gangguan suasana hati .
Riwayat cedera otak traumatis dinilai menggunakan kuesioner yang divalidasi yang menanyakan tentang gejala, tingkat keparahan, dan waktu terjadinya cedera.
Para peneliti menggunakan pendekatan statistik yang disebut pemodelan persamaan struktural, yang memungkinkan memeriksa hubungan langsung dan tidak langsung di antara variabel-variabel penelitian, sambil memperhitungkan kesalahan pengukuran.
Penelitian ini juga menguji peserta dengan tidak adanya riwayat cedera otak. Langkah ini untuk membedakan antara kelompok yang tidak cidera dengan remaja yang mengalami trauma di kepala.
Peneliti menemukan fakta bahwa psikopati remaja tanpa trauma otak lebih dapat dikendalikan. Artinya remaja tanpa cedera otak adalah bisa dikendalika emosi serta suasana hatinya.
Kemudian, peneliti mengamati apakah ciri-ciri psikopat berbeda di antara kedua kelompok. Dan diketahui hasilnya, jika remaja dengan riwayat cidera otak traumatis memperoleh skor lebih tinggi pada tiga dari empat domain psikopati.
Peneliti juga mengamati karakteristik khusus dari cedera seperti tingkat keparahan dan jumlah luka di kepala dikaitkan dengan kecerdasan, penggunaan zat, dan sifat psikopat.
Peneliti menemukan fakta bahwa cedera lebih parah memiliki skor kecerdasan lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa cedera otak dapat mengganggu fungsi kognitif, yang kemudian berkontribusi pada masalah perilaku dan emosional.
Remaja dengan cedera kepala lebih banyak cenderung menggunakan lebih dari satu zat. Tingkat penggunaan zat yang lebih tinggi dikaitkan dengan sifat psikopat afektif dan perilaku.
Pola ini menunjukkan cedera berulang dapat meningkatkan risiko penggunaan zat, yang kemudian dapat dikaitkan psikopat yang lebih parah.
Temuan tersebut menunjukkan kecerdasan dan penggunaan zat dapat bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan cedera otak traumatis dengan ciri-ciri psikopat pada remaja.
Para peneliti berhati-hati tentang pembuktian cidera otak dengan kasus psikopati, karena data yang dikumpukan bisa terjadi perubahan seiring pertumbuhan usia aremaja yang diteliti.
Studi ini menunjukkan bahwa remaja yang terlibat dalam proses peradilan, terutama yang memiliki riwayat cedera kepala, akan membantu menilai defisit kognitif dan penyalahgunaan zat sebagai perawatan rutin.
Temuan ini menggarisbawahi pentingnya strategi pencegahan dini seperti pencegahan cedera kepala guna membantu remaja keluar dari tindak kriminal.
Penelitian di masa mendatang akan lebih bermanfaat jika diikuti remaja yang sudah dewasa dengan cidera otak. Dan memperluas areal penelitian termasuk kepada remaja perempuan yang mengalami cidera pada otak. (ndi/psypost)
